Rila dan ‘Rumah Itu’
Siang itu tepat pukul 2, bunyi bel tanda berakhirnya waktu sekolah terdengar sangat nyaring. Sorak gembira seluruh murid SMA Negeri 13 Jakarta pun terdengar begitu ramai. Tapi, mungkin hanya ada satu orang siswi yang benci sekali dengana bel tanda sekolah usai itu. “Huh, aku tidak suka waktu pulang sekolah!” gerutu Rila dalam hati sambil merapikan alat-alat tulisnya yang berserakan dimejanya.
“Hei, Rila! Apa hari ini kamu mau menginap disekolah lagi, hah? Hahahaha..” tawa salah seorang teman sekelas Rila kencang sekali.
“Bukan urusanmu kan?” timpal Rila.
“Dasar anak aneh!” ucap temannya lagi, sambil bergerak pergi.
Rila hanya diam. Yah, memang beberapa hari yang lalu ia ketahuan oleh pegawai sekolah masih berada didalam sekolah pada saat w3aktu menunjukan pukul 7 malam! dan memang pada saat itu Rila berniat untuk bermalam disekolah. Ia berniat begitu bukannya tanpa memiliki alasan. Tapi ada sesuatu hal yang membuat Rila sangat takut untuk pulang. Ia takut ketika melewati sebuah rumah tua yang harus dilewatinya jika ingin pulang kerumahnya. Hal itu dikarenakan, lagi-lagi dikabarkan ada orang yang hilang saat melewati ‘rumah itu’.
“Ini yang ke-16 kalinya ada orang yang dikabarkan hilang secara tiba-tiba, setelah melewati ’rumah itu’. Mungkin saja suatu saat nanti aku yang akan ikutan lenyap ditelan rumah itu. Huhh.. jangan sampai deh hal itu terjadi padaku..” Ucap Rila pada dirinya sendiri.
Hari itu sahabat Rila yang letak rumahnya tidak jauh dari rumah Rila, tidak masuk sekolah karena sakit. Namanya Kalya. Rila pulang berjalan kaki seperti biasanya dari tempat dia turun dari angkutan umum, biasanya sih ia pulang bersama Kalya. Butuh waktu sekitar 20 menit berjalan kaki untuk mencapai rumahnya. Rila juga harus melewati rumah besar yang sudah sekitar 8 tahun tidak dihuni oleh siapa pun, yang sering disebut-sebut Rila dengan sebutan ‘rumah itu’. Jam tangan tua yang dikenakan Rila menunjukan pukul 17.30 waktu itu,
“Sudah hampir maghrib” Pikir Rila sambil mempercepat langkah kakinya. “Aku benci sekali waktu pulang sekolah!” gerutunya lagi sambil setengah berlari.
“KRIIIEEEETTT” terdengar bunyi seolah-olah pagar besi tua dirumah itu terbuka. Padahal pagar rumah tua itu tertutup rapat bahkan pagar itu diikat rantai!. Aneh.
“Duh.. lagi-lagi terdengar bunyi aneh dari rumah itu” ucap Rila dalam hati. Tubuhnya tidak berhenti gemetar tiap kali harus melewati rumah tua itu. Tidak ada jalan lain yang dapat dilewatinya untuk menuju kerumahnya selain jalan itu. Rila pun akhirnya berlari juga karena ia luar biasa merasa ketakutan.
“DOKK..DOKK..DOKK! Ayahanda! Ibunda! Buka pintunya! Rila sudah pulang..” teriak Rila memanggil-manggil kedua orangtuanya sambil mengetuk pintu rumahnya berkali-kali.
“Ah! Anakku.. akhirnya kau sampai rumah juga, Ibumu khawatir sekali..” rintih Ayah Rila sambil memeluk Rila erat sekali.
“Maaf Ayahanda, lagi-lagi jalanan Jakarta macet sekali, jadi aku telat sampai kerumah... Dimana Ibunda, Ayah?” tanya Rila sambil merapikan peralatan sekolahnya.
“Ibumu dikamarnya, ia mungkin kecapekan habis menjemput ayah disawah tadi..” bisik ayah Rila sambil meneguk secangkir kopi panas malam itu.
“Oh iya nak.. Apa kau sudah mendengar berita bahwa Pak Darmo ‘menghilang’?”
“Pak Darmo?? Apa ‘rumah itu’ beraksi lagi ayahanda? ini sudah yang ke-17 kalinya kan?” tanya Rila penasaran.
“Yah.. Sepertinya memang ulah ‘rumah itu’ lagi, karena kata mbok Minah, siang tadi ia melihat Pak Darmo mengejar anak itiknya yang masuk kedalam halaman rumah tua disana itu. Dan sampai sore hari.. Pak Darmo tidak keluar-keluar dari halaman ‘rumah itu’. Ia dinyatakan hilang!” nada ayah Rila meninggi.
Seluruh badan Rila gemetar mendengar kabar dari ayahnya itu. Ia merasa sangat ketakutan sekaligus penasaran dengan kejadian yang sejak beberapa tahun lalu sering sekali terjadi didaerah tempatnya tinggal itu. “Ada apa sebenarnya dengan ‘rumah itu’?” tanya Rila pada dirinya sendiri. “Ini aneh sekali..” pikirnya. Kadang terbesit keinginan Rila untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi pada rumah itu. Tapi, ia terlalu takut untuk melakukannya.
Esok harinya, Rila berangkat ke sekolah bersama dengan kalya. Ia sudah sehat lagi. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Rila menceritakan kejadian-kejadian yang ia alami kemarin. Rila juga menyampaikan niatnya untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah itu.
“Tidak! Aku tidak setuju dengan niatmu itu Ril.. terlalu berbahaya..” respon Kalya setelah mendengar niat Rila.
“Tapi Kal, kalau misteri ini tidak segera diselidiki akan semakin banyak orang-orang yang akan ditelan oleh ‘rumah itu’..” sanggah Rila mecoba meyakinkan sahabatnya itu.
“Kamu tahu kan Ril, sudah berapa banyak orang yang hilang dirumah itu? Termasuk semua pihak yang berusaha untuk menyelidiki rumah itu? Aku tidak setuju dengan niatmu. Pokoknya tidak setuju!” Tegas Klaya melarang niat sahabatnya lagi.
Mereka sampai disekolah bertepatan dengan bel tanda pelajaran akan dimulai. Setelah bel istirahat kedua usai, Rila dipanggil oleh gurunya untuk segera ke ruang guru. “Ada telepon untukmu, Rila.” ucap gurunya itu pelan. Rila pun pergi ke ruang guru dengan ditemani Kalya. Ia langsung meraih gagang telepon yang dipegang oleh gurunya tadi.
“Ha..halo?” Ucap Rila pelan.
“Rila.. anakku.. a..ada kabar buruk nak.. cepatlah pulang nak.. ayahmu.. ayahmu nak..” Terdengar suara Ibunda Rila yang terbata-bata dan agak serak karena menangis diseberang telepon.
“A..ada apa dengan ayahanda, Ibunda?” Rila mulai merasa gemetaran disekujur tubuhnya. Ia seperti tak kuasa untuk mendengar kata-kata ibunya lagi.
“Ayahmu.. ayahmu.. hilang nak! Rumah itu..” terdengar suara ibunda Rila yang semakin mengecil dan diikuti dengan suara isak tangisnya yang terdengar sangat pilu.
“tut..tut..tut..” telepon terputus.
Seluruh badan Rila lemas seketika. Ia seperti disengat oleh jutaan volt listrik. Ia jatuh terduduk sambil tetap menggenggam telepon sekolah. Air mata mengalir tak terkendali dipipi Rila yang pucat pasi saat itu.
“A..ada apa Ril? Apa yang terjadi?” tanya Kalya pelan.
“Ayahanda.. ayahanda Kal.. tidak.. tidak mungkin.. rumah itu.. ayah...” Rila tidak dapat mengendalikan kata-katanya sendiri.
Kalya bingung luar biasa, ia hanya tahu satu hal. Hal yang sangat buruk telah menimpa ayah Rila. Kalya dapat memperkirakan apa yang terjadi. Setelah Rila ditenangkan oleh para guru dan teman-temannya, ia pun diantarkan pulang oleh Pak Darwis, wali kelas Rila sampai kerumahnya. Ketika melewati ‘rumah itu’ pandangan mata Rila tak sekejap pun teralihkan. Ia memandang tajam ‘rumah itu’. “Aku akan menguak semua rahasiamu!” tekad Rila dalam hati.
Malam harinya Rila pergi kerumah Kalya. Ia telah pamit pada Ibundanya juga pada ketakutan terbesarnya selama ini. Rila telah menyiapkan segala hal yang mungkin akan diperlukannya. Malam ini ia berniat untuk memasuki dan menguak semua rahasia ‘rumah itu’. Rila mengajak sahabatnya itu untuk ikut dengannya menyelidiki ‘rumah itu’. Jelas Kalya menolaknya. Tapi, Rila tetap bersikukuh untuk tetap pergi ke sana. Ia pun berangkat dengan ditemani Kalya.
Rila sampai dirumah itu. Jam tangannya menunjukan pukul 9 malam. Udara sangat dingin, dan suasana saat itu sangat mencekam, sepi sekali. Sulit sekali untuk bernapas bagi Rila dan Kalya saat itu. Mereka berdua sangat tegang. Kalya tetap memohon pada sahabatnya itu untuk menghentikan rencananya. Tapi, Rila tidak bisa menahan dirinya lagi. Kejadian yang menimpa Ayahnya harus jadi yang terakhir, pikirnya.
“Tunggulah didepan pagar ini, kalau aku tidak juga kembali sampai pukul 10, Larilah sekencang-kencangnya dan beritahukan pada seluruh warga disini, untuk membakar rumah ini tanpa sisa. Kamu mengerti kan?” bisik Rila pada Kalya serius. Kayla mengangguk lalu menangis.
“Rila, kamu satu-satunya sahabatku. Berjanjilah kamu akan kembali..” pinta Kalya pada Rila.
Rila hanya tersenyum. Kalya terus menangis. Rila segera masuk kehalaman rumah itu melalui lubang disalah satu sisi pagarnya. Perlahan Rila bergerak maju menuju pintu utama rumah itu. Seluruh tubuhnya gemetar. Senter ditangannya tidak terkendali. Ia memegang pintu rumah itu dan mendorongnya perlahan. Pintu rumah itu terbuka sebagian. Rila menengok pada sahabatnya yang terus memperhatikannya. Ia memberi tanda pada Kalya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Rila pun melangkah memasuki rumah itu..
“SRREEEEEEPPPPPP!!!!”
“BRAAAAAKKKKK!!” pintu ‘rumah itu’ tertutup rapat.
Malam itu tetap hening.
Esok harinya disekolah.
“Berita duka cita bagi kita semua, telah kembali kehadapan Allah SWT teman kita tercinta, Rila Amediniya dari kelas XI Ipa 3. Mari kita doakan bersama, semoga arwahnya diterima disisi Yang Maha Kuasa. Amin.”
Seisi sekolah sunyi.
Rumah Sakit Jiwa, Grogol.
Kalya duduk dipojokan kamarnya yang baru, sambil memeluk erat kedua kakinya. Ia tak berhenti menangis. Ia tak mau berbicara sepatah kata pun. Tubuhnya gemetar tak terkendali. Hanya ia yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya, ‘rumah itu’, juga pada sahabatnya yang tercinta, Rila.